Dasar Hukum adanya Debt Collector

Adakah dasar hukum debt collector? Apa sanksi bagi debt collector yang sering menagih lewat telepon maupun secara langsung dengan mengucapkan sumpah serapah dan kata-kata kasar lainnya ?

Jawaban :
Sepengetahuan kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector ini. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya.  Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata. 

 

Khusus di bidang perbankan, memang ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“PBI”) jo SE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (“SEBI”). Dalam PBI dan SEBI ini, diatur bahwa:
  1. Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu;
  2. Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri;
  3. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet;
  4. Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum;
  5. Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
Kalau merujuk pada ketentuan-ketentuan KUHP, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector bisa dijerat hukum. Dalam hal debt collector tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP:
Barangsiapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan
Selain itu, bisa juga digunakan pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”

Black List BI, Rumor menyesatkan

Mungkin Anda pernah mendengar istilah Black List BI (Bank Indonesia) ketika membicarakan dengan pihak Bank/ masyarakat masalah seputar penyelesaian tagihan Kartu Kredit dan atau Kredit Tanpa Anggunan. Atau saat ini, anda sedang bertanya-tanya tentang istilah tersebut. Akhir dari semua pertanyaan adalah, apakah benar Bank Indonesia mengeluarkan daftar gelap nasabah debitur ? mari kita bahas hal ini bersama-sama, bagi Anda, pembaca, yang tidak sependapat silahkan beri tanggapan, tentunya dengan referensi dasar hukum yang jelas dan tegas.
 

Berdasarkan penelusuran data dan informasi yang dilakukan, saya belum menemukan referensi dasar hukum tentang kegiatan pendataan “black list BI”. Yang baru saya temukan dan saya pahami, berdasarkan keterangan seorang teman yang bekerja sebagai legal manager di suatu Bank Swasta, dapat dipastikan bahwasanya istilah “black list BI” tidak ada dalam praktek sehari-hari perbankan Indonesia. Yang ada, dikenal dan dipraktekkan oleh bank adalah kegiatan penyampaian informasi debitur yang menyangkut penyediaan dana (kredit) dan keuangan seorang/ beberapa debitur Bank yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur ini didasarkan pada PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR .

Penyampaian informasi debitur ini dilakukan tidak ada kaitannya dengan permasalahan kredit yang disalurkan Bank kepada nasabah debitur. Juga tidak menjadi patokan bahwa informasi nasabah debitur yang dilaporkan tersebut adalah nasabah yang ber-“masalah”.

Lalu, kapan seorang nasabah masuk dalam daftar informasi debitur ? jawabnya adalah pada saat seorang nasabah menerima kredit yang disalurkan bank kepadanya. Sejak sang nasabah menerima kredit maka Bank kreditur wajib menyampaikan informasi nasabah debitur tersebut kepada Bank Indonesia. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 5 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR yang menegaskan :

(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, terkini, dan tepat waktu.
(2) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan.
(3) Pelapor bertanggung jawab atas isi dan ketepatan waktu penyampaian Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Laporan Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib disusun sesuai dengan Buku Pedoman Penyusunan Laporan Debitur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Kegiatan penyampaian informasi debitur bank kepada Bank Indonesia dilakukan dengan maksud memperlancar proses penyediaan dana (penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penyertaan, penempatan, tagihan lainnya, dan transaksi rekening administratif serta bentuk penanaman dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu, dalam hal ini bank bertindak sebagai kreditur) mempermudah penerapan manajemen risiko, dan bertukar informasi antar bank tentang profil dan kondisi debitur guna membantu bank dalam melakukan identifikasi kualitas seorang/ beberapa Debitur. Adapun perincian penyampaian informasi debitur ini meliputi informasi mengenai:

a. Debitur;

Informasi ini berisi informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda Penduduk, dan keterkaitan debitur dengan Bank dari sisi kepengurusan, kepemilikan, dan hubungan keuangan.

b. pengurus dan pemilik;

Informasi pengurus dan pemilik antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor Kartu Tanda Penduduk, jabatan, dan pangsa kepemilikan.

c. fasilitas Penyediaan Dana;

Informasi fasilitas Penyediaan Dana antara lain berisi informasi mengenai jenis Penyediaan Dana (kredit yang diberikan bank kepada nasabah debitur, termasuk dalam hal ini juga tentang cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain), jumlah fasilitas yang diberikan dan kolektibilitas, termasuk Penyediaan Dana yang dihapus buku, yang dihapus tagih, serta yang diselesaikan dengan cara pengambilalihan agunan atau penyelesaian melalui pengadilan.

d. agunan;

Informasi agunan antara lain berisi informasi mengenai bukti kepemilikan, nilai taksasi, lokasi agunan, dan jenis pengikatan.

e. penjamin;

Informasi penjamin antara lain berisi informasi mengenai nama, alamat, nomor Kartu Tanda Penduduk, akta pendirian, dan bagian yang dijamin.

f. laporan keuangan Debitur.

Informasi laporan keuangan Debitur antara lain berisi informasi mengenai neraca dan laba rugi.

Informasi profil dan kondisi debitur ini dihimpun dalam suatu pusat informasi kredit (credit bureau) yang dikelola oleh Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Bagian Data Perbankan.

Apakah dengan masuknya informasi debitur dalam Pusat Informasi Kredit Bank Indonesia berarti merugikan debitur ? berapa lama informasi profil debitur masuk dalam Pusat Informasi Kredit tersebut ?

Sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan Pusat Informasi Kredit yakni memperlancar proses penyediaan dana, mempermudah penerapan manajemen risiko, dan bertukar informasi antar bank tentang profil dan kondisi debitur guna membantu bank dalam melakukan identifikasi kualitas seorang/ beberapa Debitur tentunya untuk mengukur merugikan tidaknya bagi debitur harus dilihat dari 2 (dua) sisi kepentingan yakni kepentingan si nasabah debitur dengan kepentingan bank itu sendiri yang tentunya kepentingan masing-masing pihak adalah sangat berbeda satu sama lain. Mengenai berapa lama informasi profile debitur disimpan Pusat Informasi Kredit Bank Indonesia, jawabnya, informasi tersebut akan selalu tersimpan dalam database Pusat Informasi Kredit mengingat Bank Indonesia berkepentingan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank maupun lembaga lain di bidang keuangan dalam rangka memperoleh informasi debitur secara efisien dan efektif.

Praktek Curang Bank dalam Kartu Kredit

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”
~Pasal 1337 KUHPerdata~

Pahamin seksama tentang perjanjian dan ketentuan kartu kredit. Dalam perjanjian dan ketentuan kartu kredit yang ditetapkan oleh bank penerbit kartu kredit, hak-hak anda sebagai nasabah secara jelas dan tegas telah dikebiri. Ini adalah praktek curang bank dalam kartu kredit, baik menurut hukum, kesusilaan dan atau ketertiban umum.

Praktek curang tersebut adalah :

1. Bertukar informasi tentang data atau identitas pemegang kartu kredit dengan card center lainnya.
2. Mengungkapkan informasi termasuk transaksi yang berhubungan dengan pemegang kartu kredit kepada pihak ketiga.
3. Menetapkan klausul mengenai perhitungan bunga dan biaya-biaya lain yang dapat berubah sesuai dengan kebijakan bank tanpa diperlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu.
4. Mengubah/ menambah persyaratan dan ketentuan, dan perubahan/ penambahan yang mengikat sejak saat diakannya perubahan tanpa harus pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu.
5. Atas kebijaksanaannya sendiri tanpa harus memberitahu pemegang kartu dan tanpa memberi alasan, berhak melarang atau merubah batas kredit pemegang kartu atau menolak dengan cara lainnya, baik untuk selamanya ataupun sementara atau mengakhiri keanggotaan dan mencabut semua hak baik yang melekat pada penggunaan dari kartu kredit ataupun hak lainnya dan selanjutnya berhak untuk menyampaikan pemberitahuan kepada semua pedagang dan setiap orang yang berkepentingan mengenai pencabutan hak tersebut.

Bab III Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/ 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah secara tegas – tegas menyatakan :

“(1) Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan memberikan dan atau menyebarluaskan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak lain untuk tujuan komersial, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

(2) Dalam permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi dari pemberian dan atau penyebarluasan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain”.

Bahwasanya pada awal penawaran kartu kredit, dalam form aplikasi kartu kredit, Bank tidak pernah mencantumkan klausul atau setidak-tidaknya menjelaskan mengenai pertukaran informasi data atau identitas anda sebagai nasabahnya kelak. Yang dilakukan Bank penerbit kartu kredit hanyalah menerbitkan buku tentang petunjuk penggunaan kartu kredit dimana dalam buku petunjuk tersebut telah tercantum tentang hak (yang ditetapkan secara sepihak) bank penerbit untuk memberikan dan menyebarluaskan data pribadi nasabah. Anda sebagai nasabah telah terpasung, dibutakan oleh ketentuan-ketentuan yang dibuat Bank secara sepihak.

Apapun alasannya, secara hukum perbankan, tanpa adanya jaminan tertulis dari yang berangkutan Bank tidak boleh memberikan dan atau menyebarluaskan data pribadi nasabahnya kepada pihak lain, terlebih-lebih dengan tujuan komersil untuk meningkatkan potensi pasar kartu kredit yang diterbitkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11 Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/ 2005.

Selain melanggar kedua pasal Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/ 2005 di atas, dari sisi perlindungan konsumen pun, Bank telah melakukan melanggar Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang pada pokoknya menyatakan pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Ancaman hukuman bagi pelanggaran pasal 18 undang-undang tersebut adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Perbuatan curang lain yang dilakukan Bank dalam kartu kredit adalah menetapkan klausul mengenai perhitungan bunga dan biaya-biaya lain yang dapat berubah sesuai dengan kebijakan bank tanpa diperlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu. Penetapan klausul tersebut jelas-jelas bertentangan dengan PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/6/PBI/2005 TENTANG TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK DAN PENGGUNAAN DATA PRIBADI NASABAH.

Dalam Pasal 6 PBI No. 7/6/PBI/2005, Bank Indonesia menetapkan Bank wajib memberitahukan kepada Nasabah setiap perubahan, penambahan, dan atau pengurangan pada karakteristik Produk Bank. Pemberitahuan tersebut wajib disampaikan kepada setiap Nasabah yang sedang memanfaatkan Produk Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan, penambahan dan atau pengurangan pada karakteristik Produk Bank tersebut. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 akan dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis yang kelak dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.

Dari uraian sedikit mengenai kecurangan Bank dalam penerbitan kartu kredit diatas, maka layak dan patut dikatakan bahwa sesungguhnya kartu kredit merupakan produk perbankan yang cacat hukum. Sudah seharusnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan bank dalam kartu kredit, yang sekali lagi ditegaskan, cenderung mengabaikan hak-hak nasabah.

Pertanyaan Seputar Kartu Kredit

Saya mempunyai masalah dengan pembayaran kartu kredit saya yang tiap bulan bukannya berkurang malah bertambah terus akibat pembayaran minimum dan bunga, sehingga untuk penyelesaian kartu kredit ini saya percayakan kepada Advokat, saya mengambil langkah ini karena ikut dengan teman yg sudah terlebih dahulu memakai jasa advokad tsb. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan pada diri saya..
  1. Apakah sebenarnya bisa penyelsaian kartu kredit ini dilakukan dan diserahkan ke advokat ???
  2. Ada yang menuliskan di internet kalau Advokat pemutihan kartu kredit bisa dipidanakan, apakah benar ?
  3. Sebenarnya bukannya sy ingin mengemplang uang dari kartu kreidt cuma permasalahannya, kondisi saat ini yang gak memungkinkan saya untuk membayar kartu kredit, dan saya masih punya itikad baik untk penyelsaian hal tsb, apakah lebih baik saya ke pihak penerbit kartu kredit nya ?? karena yg saya tahu juga..ada pihak bank yang tidak mengindahkan keinginan kita dan tetap harus membayar sesuai dengan tagihan dan juga bunga kreditnya, jadi apa yg harus saya lakukan ??
  4. Dan apabila nama kita sudah di black list oleh PIhak BI, sampai berapa lama ??

 Mohon penjelasannya

Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih
Salam
JAWAB :
  1. Sesungguhnya dalam masalah yang berkaitan dengan hukum, apapun masalahnya, saya yakin setiap Advokat mampu menyelesaikannya. Tentang bagaimana cara kerjanya, tentunya setiap Advokat memiliki metode kerja yang berbeda-beda.
  2. Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan :
    Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.Dalam pasal 18 ayat (2)-nya dikatakan :
    Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. Jadi berdasarkan ketentuan pasal di atas, Advokat boleh mengurus penyelesaian masalah kartu kredit, sepanjang dalam melaksanakan pengurusan masalahnya tersebut Ia tetap berdasarkan pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Bahwa kemudian Advokat yang mengurus penyelesaian kartu kredit dapat dipidanakan, saya rasa Anda terlebih dahulu mempelajari kembali isi artikel yang Anda maksud tersebut. Saya belum bisa memastikan benar tidaknya artikel yang Anda maksud tersebut mengingat harus memastikan terlebih dahulu apa maksud dari si penulis artikel menulis hal demikian.
  3. Pengalaman saya dalam mengurus masalah kartu kredit, yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan upaya mediasi antara kepentingan klien dengan kepentingan pihak penerbit kartu kredit. Dalam hal ini, memang ada baiknya si klien/ nasabah yang lebih aktif melakukan mediasi tersebut. Ini terkait dengan asumsi yang ada pada si penerbit kartu kredit yang mungkin berasumsi. “kalau si nasabah mampu membayar jasa advokat, kenapa ia tidak mampu membayar/ mencicil tagihan kartu kreditnya”.
    Saran saya, sebaiknya Anda sebagai nasabah lebih memaksimalkan upaya mediasi dengan pihak penerbit kartu kredit. Ingat dalam mediasi, upaya tersebut tidak cukup dilakukan dalam satu kali pertemuan atau beberapa kali pengiriman surat permohonan keringanan.
  4. Sebenarnya istilah Black List BI tidak ada dan tidak dikenal dalam praktek hukum perbankan Indonesia. Yang ada adalah Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur yang terhimpun dalam pusat informasi kredit (credit bureau) dimana ketika seorang nasabah menjadi debitur dari suatu bank/ lembaga pembiayaan/ lembaga keuangan maka sejak itu pula data terkait dengan si nasabah tersebut, terlepas dari ada tidaknya masalah dalam kreditnya, masuk dalam daftar informasi debitur. Hal ini terkait dengan penerapan manajemen risiko kredit yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.Penyelenggaraan Sistem Informasi Debitur ini didasarkan pada PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 tanggal 24 Januari 2005. Bahwa kemudian kegiatan pelaporan Debitur suatu bank/ lembaga keuangan non bank diartikan sebagai pelaporan debitur black list, itu merupakan kesalahan tafsir dari masyarakat dan mungkin khususnya penyampaian informasi yang sesat dari Bank kepada debiturnya.

Kartu Kredit, Teror Bank dan Agensi

Ketika anda tidak sanggup melunasi kembali tagihan kartu kredit, pihak mulai melakukan teror demi teror, maka dapat dipastikan kepanikan dan kekhawatiran akan menjadi santapan anda hari demi hari. Teror-teror yang dilakukan pihak bank biasanya ada 3 cara yaitu:

  1. Melalui telepon, baik menghubungi Anda sendiri, saudara, bahkan kantor tempat Anda bekerja tanpa mengenal waktu. Tetapi belakangan muncul modus yang lebih ‘sadis’, yakni mereka mencoba mengganggu operasional kantor dengan menghubungi setiap line telepon yang ada, atau menghubungi atasan Anda untuk menjelek-jelekan Anda.Cara menangani:
    Ceritakan masalah Anda kepada Atasan Anda. Jelaskanlah bahwa ini hanyalah masalah pribadi Anda.Ingat ! Saudara ataupun Kantor bukanlah PENJAMIN UTANG Kartu Kredit Anda ! Mereka hanyalah sebagai referensi bahwa Anda bukanlah seorang PENIPU ! 
    Untuk itu pihak Saudara ataupun Kantor berhak menolak menanggapi teror dari ‘pihak Bank’ tersebut. Baik berupa permohonan untuk berbicara dengan atasan Anda, ataupun dengan siapa saja yang ada di kantor.
  2. Melalui “Delivery”, yakni karyawan bank bagian collection untuk mendatangi tempat tinggal maupun tempat kerja Anda untuk mengambil uang tagihan yang seharusnya anda bayar.Cara menangani:
    Untuk menghadapi mereka, sudah sepatutnya anda menanyakan terlebih dahulu surat tugas mereka. Jangan dilayani jika mereka tidak mampu menunjukkan surat tugasnya. Setiap karyawan bank bagian collection yang ditugaskan senantiasa dilengkapi surat tugas yang ditandatangani atasannya dan tentu saja akan dibuktikan lebih lanjut dengan ID card yang terpajang manis di saku kemejanya.
  3. Jika tagihan kartu kredit anda tertunggak selama 3 – 6 bulan biasanya bank akan menggunakan jasa Agensi. Jasa agen ini ada yang dilakukan perorangan atau yang dikoordinir melalui suatu badan usaha. Penentuan apakah agen tersebut perorangan atau badan usaha bisa dilihat cara penanganan yang dilakukan mereka. Jika agen tersebut langsung mendatangi alamat anda, itu artinya mereka bergerak secara perorangan namun jika sebelumnya mereka mengirim atau menyerahkan surat peringatan terlebih dahulu maka sudah dapat dipastikan mereka terkoordinir melalui suatu badan usaha. Mengenai badan usaha dari jasa agen ini saya menemukan kantor pengacara yang melakukan hal tersebut. Terlepas dari apakah benar mereka merupakan pengacara atau tidak, menurut saya, tidaklah terlalu elegant jika ada seorang pengacara melakukan hal tersebut.Alasannya tentu saja adalah tidak jarang debt collector dari kantor pengacara tersebut malah mengabaikan aturan-aturan hukum yang berlaku. Karena sudah dalam wadah “Kantor Pengacara” para debt colletor tersebut seolah-olah sudah merasa aman dan bebas hukum untuk melakukan intimidasi ke nasabah. Ini jelas mencoreng citra dari pengacara itu sendiri khan ?Cara menangani:
    Bagi nasabah yang didatangi debt collector semacam ini sebaiknya sebelum melayaninya tanyakan dulu surat kuasa mereka. Umumnya mereka mengatasnamakan dari bank tapi tidak memiliki surat kuasa dari bank yang menyatakan telah menunjukkan mereka untuk melakukan penagihan. Jika mereka tidak bisa menunjukkan surat kuasa tapi tetap memaksakan kehendaknya, saran saya sebaiknya anda harus berani tegas mengancam mereka untuk melaporkannya ke pihak berwajib (Polisi).

Mediasi Perbankan

Peraturan        :       Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi PerbankanBerlaku            :       Tanggal 29 Januari 2008  Ringkasan       :

  1.  Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/21006 tentang Mediasi Perbankan didasarkan pada realitas bahwa pembentukan lembaga mediasi yang independen oleh asosiasi perbankan sampai dengan akhir tahun 2007 belum dapat dilaksanakan karena berbagai faktor, antara lain faktor sumber daya manusia dan pendanaan, sementara pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia sesuai PBI diatas hanya dapat dilaksanakan sampai dengan akhir 2007.
  2. Dengan memperhatikan bahwa pelaksanaan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang perbankan bermanfaat bagi tujuan perlindungan kepentingan nasabah dan terpeliharanya reputasi bank, maka pelaksanaan fungsi mediasi perbankan pasca 2007 akan terus dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan terbentuknya lembaga mediasi perbankan yang independen.

Sumber :
http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi_100108.htm
http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi+8506.htm

Biro Informasi Kredit

Kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang diarahkan untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan yang pada gilirannya akan membantu mendorong perekonomian nasional secara berkesinambungan. Bertitik tolak dari hal tersebut, dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui penyaluran kredit, sejak tahun 2006 Bank Indonesia merasa perlu untuk mendukung pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan melalui pembentukan Biro Informasi Kredit. Tugas utama Biro Informasi Kredit adalah menghimpun dan menyimpan data penyediaan dana/pembiayaan, dan pada akhirnya mendistribusikannya sebagai informasi kredit yang selanjutnya disebut dengan Informasi Debitur Individual (IDI) Historis. IDI Historis dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan anggota Biro Informasi Kredit (perbankan dan Lembaga Keuangan Non Bank), serta masyarakat baik perorangan maupun badan usaha.Bagi lembaga keuangan, IDI Historis yang diperoleh diharapkan dapat dimanfaatkan antara lain untuk mengetahui kredibilitas (kelayakan) calon penerima fasilitas penyediaan dana (debitur) dan untuk mengetahui calon debitur dimaksud sedang menerima fasilitas penyediaan dana dari lembaga lain atau tidak. Informasi tersebut akan membantu lembaga keuangan dalam:

  1. Mempermudah analisa untuk pemberian kredit/pembiayaan, sehingga dapat memperlancar proses penyediaan dana; dan
  2. Penerapan manajemen risiko antara lain untuk menghindari kegagalan membayar pinjaman yang telah diberikan dan mencegah penipuan.

Bagi masyarakat, IDI Historis yang diperoleh diharapkan mampu memberikan edukasi positif untuk senantiasa bertanggung jawab terhadap kewajiban kredit yang telah diterimanya, sekaligus untuk membantu melakukan kontrol terhadap kebenaran  dan keakuratan data yang disampaikan lembaga keuangan kepada Bank Indonesia.

 Hal yang perlu diperhatikan:

  1. Kewenangan memutuskan untuk memberikan fasilitas kredit/pembiayaan merupakan kebijakan perbankan atau LKNB yang bersangkutan.
  2. Kebenaran dan keakuratan informasi IDI Historis adalah tanggung jawab dari lembaga keuangan anggota Biro Informasi Kredit yang melaporkan data tersebut.
  3. Segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan IDI Historis untuk keperluan lembaga keuangan anggota Biro Informasi Kredit yang tidak sesuai dengan ketentuan, sepenuhnya menjadi  tanggung jawab lembaga keuangan yang bersangkutan.
  4. Segala akibat hukum yang timbul sehubungan dengan penggunaan IDI Historis oleh masyarakat, sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.

Sumber : http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Credit+Bureau/